Monday, March 22, 2010

Gegar Budaya




Bahasa bekennya adalah Culture Shock.

Biasanya dirasakan oleh pelajar-pelajar Indonesia yang baru sekolah di luar negeri, bukan yang sudah lama tinggal disana. Meskipun Boy itu pemuda modern metropolitan, tidak bisa dipungkiri kalau perbedaan budaya itu ada. Yang terpenting adalah bagaimana cara menyikapi gegar budaya menjadi sebuah bentuk asimilasi yang mendewasakan pemikiran, serta wawasan.
Perbedaan budaya bisa mencakup banyak sekali aspek. Yang mungkin paling terasa sama orang Indonesia saat merantau sih biasanya:

1. Makanan
Buat beberapa orang Indonesia, kalau belum makan nasi berarti belum makan. Ada juga yang nggak bisa lepas dari sambal, sampai kemana-mana bawa sambal botolan sampai ke restoran fine dinning sekalipun. Syukur-syukur kalau merantaunya ke negara-negara yang banyak orang Indonesianya, sehingga stok sambal masih cukup banyak. Kalau merantaunya ke negara yang agak tidak terjamah sama orang Indonesia, bisa makin gawat gegar budayanya.
2. Tanpa basa basi
Buat yang terbiasa dengan budaya basa basi, mungkin akan shock dengan gaya bicara apa adanya orang barat yang mungkin berkesan kurang sopan. Tapi justru mereka biasanya lebih tulus, jadi lebih baik dibiasakan saja. Bahkan untuk bilang suka, mereka pun lebih ekspresif, tanpa berkelit, sama halnya dengan mengutarakan pendapat. Kalau setuju bilang setuju, kalau nggak setuju bilang nggak setuju. Sifat nggak enakan nggak berlaku disini.
3. Pergaulan Bebas
Sebenarnya pemuda Jakarta dan kota-kota besar lainnya juga sama saja, cuma mungkin agak ditutup-tutupi, sedangkan disana lebih dirayakan.
4. Individualis
Buat kita yang terbiasa dengan budaya kepo alias ingin tahu urusan orang, di sana mah siap-siap aja sakit hati. Intinya kalau bukan urusan kamu mending nggak usah diurusin, nggak perlu berharap terlalu banyak empati yang akan bikin susah sendiri. Ambil aja keuntungannya, kamu bisa bebas melakukan apa saja asal bertanggung jawab dan nggak merugikan orang lain.
5. Tepat Waktu
Ini sering banget jadi masalah buat orang Indonesia. Kita yang terbiasa telat seringkali jadi bermasalah sendiri dengan budaya tepat waktu mereka. Jadi mendingan gegar budayanya jangan kelamaan deh, langsung cepat-cepat adaptasi aja.

Sebenarnya gegar budaya di negeri orang itu gampang diatasinya, paling lama 2 bulan kamu udah bisa beradaptasi dengan budaya dan kebiasaannya mereka. Yang susah adalah gegar budaya setelah kamu lama di luar negeri, tapi harus balik lagi ke Indonesia.
Sudah siap belum melihat kondisi nyata negeri ini yang nggak se-ideal di negara maju? Nggak mau kan dibilang sok bule sama teman-teman kamu?

Tuesday, March 16, 2010

All That Jazz




Seiring usia, Boy kini gandrung juga sama musik jazz...

Jika Indonesia telah merajai trending topic di twitter hingga terucapkan di dialog film Alice in Wonderland. Maka berbicara musik kelas internasional, festival Java Jazz Festival (JJF) yang mengakomodir hal ini kembali terlaksana di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, area Jakarta International Expo (JI Expo) di Kemayoran untuk kali ini menjadi venue acara dengan barisan musisi handal seperti Babyface, Toni Braxton, Diane Warren, John Legend, hingga Manhattan Transfer. Jangan lupakan partisipasi pemain lokal yakni Glenn Fredly, Idang Rasjidi, Indra Lesmana, Andien hingga pendatang baru, seperti Dira, Endah N 'Rhesa dan Sandhy Sondoro, yang mencuri perhatian. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 209 performance akan tampil dengan melibatkan 1300 musisi dalam dan luar negeri. Festival ini semakin 'membengkak' dalam skala penyelenggaraan.

Seratus tahun lalu, orang-orang Afro-Amerika yang hidupnya tersepak dan martabatnya terjajah, memproklamasikan jazz sebagai musik egalitarian. Satu lagu yang dipakai sebagai rangka dapat dikreasi-kembali bahkan dikonstruksi-kembali dalam 1001 watak dan gaya permainan yang berbeda. Dan tahun ini, menjadi penanda bahwa event sekelas JJF mampu berimprovisasi dengan menghadirkan beragam jenis dan citarasa musik yang diramu sedemikian ruap sehingga mampu menarik atensi publik di luar komunitas fanatik jazz. Musik ini menjadi lebih komersial dan memasyarakat? Mengapa tidak? Bahkan tokoh besar seperti Presiden SBY meluangkan waktu dengan menyaksikan penampilan Diane Warren atau wakil presiden Boediono yang melongok beberapa tembang laris Babyface selama acara.

Dengan area lebih besar dan penampilan musisi yang semakin bertambah secara kuantitas. Banayk komentar miring soal Java Jazz kali ini. ”Social climber yang sebenarnya tidak mengerti jazz,” komentar seorang teman yang kerap berpandangan skeptis mengenai para pengunjung yang membludak pada event kali ini. Memang terlihat adanya percampuran dari berbagai kalangan, baik usia maupun kelas ekonomi. Bukan itu saja, percampuran terjadi dari musik-musik yang tampil. Jazz tidak hanya berkutat seputar nge-jam dengan instrumen seperti bass ata saxophone, yang biasa dikenal fanatik jazz. Aliran musik lain turut mendapatkan kesempatan untuk tampil dengan mengusung istilah contemporary jazz atau fusion jazz. Apapun istilahnya, publik secara perlahan mulai semakin menerima keberadaan JJF sebagai festival musik kelas Internasional. ”Java Music Festival?” komentar teman satu lagi tentang gado-gado musik di ajang ini.

”Festival memang seharusnya terjadi seperti ini, kebetulan para penonton telah terbiasa dengan penyelenggaraan di Jakarta Convention Center yang berlangsung pada tahun-tahun sebelumnya,” komentar seorang penonton setia JJF. Berbicara tentang kenyamanan, akses masuk ke lokasi venue, pengaturan parkir, cuaca, denah lokasi, hingga mekanisme penjualan makanan yang terasa kurang praktis menjadi catatan tersendiri di JJF kali ini. Tidak terpungkiri, ajang JJF telah mampu menyedot atensi pecinta musik Indonesia dan berhasil mendatangkan musisi handal kelas dunia. ”Dan, suatu kebanggaan kita di Indonesia, kali ini kita dikunjungi Dianne Warren, salah satu penulis lagu terbesar di dunia. Kalau lagu-lagu The Beatles dan Elton John dikumpulin, mungkin lagu-lagu karya Dianne Warren akan lebih banyak,” ujar Peter F. Gontha, Founder Chairman Java Jazz.

Penasaran? Datang aja bareng=bareng Boy tahun depan! Dijamin ciamik!

Saturday, March 13, 2010

Keliling Dunia I





Nggak tau apa jadinya Boy tanpa jalan-jalan...

Mungkin memang karena ada faktor keberuntungan juga kalau Boy dibesarkan di keluarga berada, sehingga kesempatan untuk jalan-jalan itu selalu terbuka. Tapi nggak semua orang kaya juga memanfaatkan kelebihan materinya untuk melihat dunia.

Sebenarnya sih itu masalah penempatan prioritas aja. Disaat orang-orang dengan hamburnya menghabiskan lebih dari 5 juta rupiah lebih untuk sebuah Blackberry terbaru, ada yang memilih menabung 3 bulan untuk sekedar liburan ke Lombok saat cuti. Abis itu mungkin duitnya langsung abis, tapi bisa jadi pula kepuasannya lima kali lipat daripada memiliki sebuah blackberry terbaru.

Beberapa orang bilang Boy terlalu beruntung sudah melihat banyak tempat mengagumkan di dunia, tapi bukankah kita yang memilih keberuntungan kita sendiri. Disaat orang begitu nyaman nggak mau pisah sama pujaan hatinya, Boy memilih berkorban meninggalkan kekasih hati demi keberuntungan lain, yaitu untuk melihat dunia.

Dimulai dari the City of Angels, LA, tujuan utama banyak pelajar Indonesia sebelum krismon. Ada yang bilang LA is the real fashion capital. Mungkin karena banyak sekali beautiful people yang berceceran di jalan, terutama sepanjang Santa Monica boulevard, Beverly Hills, dan Melrose Avenue. Tapi LA lebih dari itu buat Boy. Disini Boy mulai belajar mengenal arti hidup, arti cinta, artinya jadi dewasa dan maknanya menjadi bahagia.

Semua orang punya cara sendiri untuk bahagia, ada yang hobinya kumpul-kumpul teruuus sama teman, ada yang kerjaannya pacaran terus, ada yang ngumpulin duit terus, kalau Boy sih ya jalan-jalan terus, mungkin suatu saat nanti bisa lebih lengkap kebahagiannya kalau jalan-jalannya ditemenin juga sama kekasih hati...

Tunggu cerita-cerita Boy dari belahan dunia lain, yang jelas pesan Boy cuma satu,

Go explore!! The earth..., I mean your home is alot more beautiful and exciting than just malls and clubs.